Pendidikan Juga Punya Rasa
Bengkang, itulah nama desa yang membuatku penasaran ketika pertama kali kakiku menginjakkan tanah Flores. Bayangan akan glamornya pendidikan di tanah jawa langsung hilang dalam sekejap ketika mata ini melihat sebuah sekolah yang berhalamankan tebing-tebing gunung yang dipecah oleh mulusnya jalan di desa ini. Entah karena belum pernah mengangkat kaki yang jauh dari kampung halamanku atau hanya angan yang miskin akan pengalaman belaka.
sumber foto : penulis |
SDN Bengkang itulah nama yang seharusnya tertulis rapi layaknya di selembar kertas SK yang kuterima dari Dinas Pendidikan setempat. Namun tak banyak yang dapat mata ini temukan dari sekolah ini, papan nama sekolah yang seharusnya sebagai kebanggan setiap sekolah ternyata hanya terucap di bibir manis setiap guru, siswa dan masyarakat.
Seharusnya tak sulit menemukan sekolah ini, lokasi yang cukup dekat dengan jalan dan berada di ujung pemukiman warga. Namun bagi seorang pendatang seperti diriku bukan perkara mudah menemukan tempat yang belum pernah ku kunjungi.
Salah satu bangunan SDN Bengkang
sumber foto : penulis
|
Tak pernah terlintas di benakku dari mulusnya jalan tempatku berdiri, mata ini harus sedikit meredup untuk melihat sekolah di puncak bukit yang akan menerima guru muda sepertiku yang haus akan pengalaman.
“Selamat Pa” Sapaan yang di iringi senyuman manis itulah yang masih teringat jelas di pikiranku akan kesan pertamaku bertemu dengan guru di SDN Bengkang. Dengan logat khas manggarai yang terasa asing di telingaku, kepala sekolah bersama 6 guru lain memulai perbincangan hangat yang di selingi dengan canda tawa yang memecah keriuhan kelas di samping kantor guru.
Perkenalan yang singkat namun penuh makna pada hari itu menjadi awal untuk diri ini memantapkan hati dalam menjalankan tugasku sebagai pendidik di sekolah ini.
Sekolah ini memang baru di resmikan menjadi Sekolah Negeri pada tahun 2011 yang sebelumnya berstatus TRK (Tambahan Ruang Kelas). Jadi Tak banyak yang dapat ku temukan layaknya sekolah-sekolah pada umumnya. Bangunan yang masih terbuat dari anyaman bambu, bangku yang terlihat tak mampu dijadikan sebagai sandaran tangan untuk menulis, tiang bendera yang masih terbuat dari pohon pinang. Itulah semua kesan pertama yang bisa disaksikan oleh mataku yang terbiasa melihat kemolekan sekolah-sekolah di jawa.
Sampailah hari pertamaku untuk mulai menyapa anak-anak bangsa yang terlihat begitu senang dan ceria di tengah minimya kondisi sekolah yang ada. Senyum yang tergambar di setiap wajah anak didik ku pada waktu itu berhasil membuat semangat seorang guru muda ini mergejolak.
Proses KBM kelas 2 SDN Bengkang
sumber foto : penulis
|
“Selamat Pagi Pa” (sambil memukul meja), itulah kalimat pertama yang terdengar di hari pertamaku mengajar di sekolah ini. Kaget itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan suasana hati ini pada saat itu. Memang Sepintas cara mereka memberi salam kepada guru tak berbeda dengan sekolah pada umumnya. Namun memberikan salam dengan memukul meja terlebih dahulu itulah yang membuat guru pendatang sepertiku di buat kaget.
Butuh beberapa menit untukku sejenak berfikir tentang pertanyan-pertanyaan yang menggajal di hatiku, apakah mereka yang akan menjadi tanggung jawabku sebagai seorang guru ? Buku yang tak jarang hanya di bungkus plastik sebagai tas, baju yang tak seragam dan kaki yang hanya beralaskan sandal berlumuran tanah merah itulah yang menyita waktuku untuk kembali sejenak memikirkan apakah diriku sanggup Mencerdaskan Anak Bangsa ini dan menjadi insan yang lebih mulia.
Keceriaan yang tampak di raut wajah lugu siswa dan siswi ini, jelas sebuah kegembiraan yang nyata di balik senyuman malu yang mereka ingin tunjukkan kepadaku. Namun hati kecilku berkata bahwa canda tawa mereka juga merupakan sebuah ironi yang memperihatinkan akan hausnya sebuah impian di tengah ketidakberdayaan mereka mendapatkan pendidikan yang lebih layak dari saat ini.
Hari pertama yang menakjubkan itu memang tak mungkin terlupakan bagi guru sepertiku yang belum banyak pengalaman. Sebuah tugas yang berat untuk memberikan rasa pendidikan yang sama seperti jawa di tanah Flores ini. Terlihat jelas mereka sangat memimpikan rasa yang sama dengan anak-anak seumuran mereka yang berada di tanah Jawa, pulau ibukota yang memberikan lebih banyak janji akan pendidikan lebih baik daripada di tanah kelahiran mereka saat ini.
sumber foto : penulis |
Hari-hari bersama sekolah ini lambat laun mulai terasa nikmat. Lonceng yang terbuat dari velg mobil merupakan bel sekolah yang dijadikan teman dalam membangkitkan semangat untuk memulai meraih mimpi para siswa. “Selamat pagi pa” (sambil memukul meja), sepertinya kalimat salam ini sudah mulai terbiasa ditelingaku ini, karena memang setiap hari begitulah cara mereka dalam memberikan penghormatan kepada guru yang diselipkan dalam setiap kalimat salam yang mereka lontarkan.
Mendidik mereka bukanlah pekerjaan yang mudah, butuh kesabaran dan keuletan tersendiri yang kujadikan sebagai sebuah tantangan baru sebagai guru. Tak jarang berbagai masalah muncul layaknya siswa tingkat dasar, dari hal yang sepele pun mereka ributkan. Namun itulah pahit dan manisnya sebagai seorang guru.
Perbedaan bahasa, budaya, agama, dan suku bukanlah sebuah halangan untuk memahami anak didik ku serta berbaur dengan masyarakat. Mau tak mau belajar bahasa Manggarai merupakan hal yang wajib untuk kupelajari. Malahan tak sedikit bahasa yang kuperoleh di ajarkan oleh anak didikku sendiri selain pengetahuan yang kuserap dari interaksi dengan masyarakat.
“Asi Ngaok” itulah kata-kata yang sering ku gunakan untuk mengontrol kelas yang artinya “jangan ramai”. Alasan pentingnya belajar bahasa yang mereka gunakan adalah anak-anak lebih mudah memahami perintah yang di ucapkan dengan bahasa Manggarai daripada bahasa Indonesia.
Foto bersama anak didik
sumber foto : penulis
|
Waktu terus berjalan seiring keakrabanku yang terus bertambah dengan anak-anak didik ku di sini. Di kelas mungkin aku seorang guru yang mereka hormati dengan segenap hati. Namun mereka tak tahu sebenarnya lebih banyak ilmu yang ku peroleh dari kehidupan mereka, baik di sekolah maupun di luar sekolah, suka maupun duka, tawa maupun tangis, teman maupun keluarga, semua itu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagiku untuk lebih memahami mereka.
Semua yang telah ku lewati bersama sekolah ini baik bersama guru, siswa, maupun masyarakat merupakan proses bersama-sama untuk mencerdaskan anak bangsa serta mewujudkan pendidikan yang lebih baik untuk mereka para anak didik yang kelak akan kubanggakan.
Mereka sangat ingin merasakan bagaimana rasa pendidikan di kota-kota jawa yang diperoleh anak seumuran dengan mereka. Selayaknya makanan yang bisa dinikmati oleh lidah kita, pendidikan pun juga memiliki rasa yang dapat dinikmati oleh semua anak didik di tanah merah putih ini.
Foto Bersama Setelah Ujian Nasional Kelas 6 sumber foto : penulis |
Disinilah aku sebagai guru akan memberikan “rasa” itu yang selama ini mereka impikan dan dambakan. Semoga kelak rasa yang aku berikan saat ini akan menjadi pijakan mereka untuk terus melangkah maju meraih mimpi yang mereka cita-citakan.