PENGERTIAN AUTISME

AUTISME DI INDONESIA

Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang: interaksi sosial, komunikasi (bahasa dan bicara), perilaku-emosi, pola bermain, gangguan sensorik dan motorik perkembangan terlambat atau tidak normal. Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil, biasanya sebelum anak berusia 3 tahun. Hasil penelitian terbaru menunjukkan satu dari 150 balita di Indonesia kini menderita autis. Laporan terakhir badan kesehatan dunia (WHO) tahun 2005 pun memperlihatkan hal serupa, yang mana perbandingan anak autis dengan anak normal di seluruh dunia, termasuk Indonesia telah mencapai 1:100.
Di Indonesia, tren peningkatan jumlah anak autis juga terlihat. Meski tidak diketahui pasti berapa jumlahnya karena pemerintah belum pernah melalukan survey. Satu dari seribu anak Indonesia terkena gangguan autis, mengenai kebenaran pernyataan tersebut, belum pasti, mungkin saja hanya spekulasi dan tidak berdasarkan pada riset atau sensus penderita autis di setiap wilayah. Jika diestimasikan bahwa jumlah anak usia dini di Indonesia sekitar 20% saja, berarti jumlah anak Indonesia 65 juta jiwa dari sekitar 280 juta total penduduk indonesia, berarti jika perseribu anak salah satunya adalah autis, jumlah anak dengan gangguan autis berjumlah sekitar 65.000 anak (Yayasan cinta anak bangsa, 2010). Permasalahan yang perlu dicermati terkait autis adalah kebanyakan orang tua anak autis tidak menerima apabila buah hati mereka menyandang autis sehingga terjadi keputusasaan untuk mengasuh anaknya. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan para orang tua tentang autis. Penghambat proses penyembuhan anak autis tidak hanya faktor mahalnya biaya terapinya saja, penanganan masalah anak-anak autis di Indonesia, bila dibandingkan dengan negara lain, boleh dibilang masih kurang memadai. Selain itu belum ada perhatian khusus seperti tersedianya payung hukum, anggaran yang layak, dokter ahli, lembaga penelitian, obat-obatan, alat terapi, klinik, terapis, dan pusat terapi yang murah. Wajar bila banyak keluarga anak-anak istimewa ini, khususnya dari kalangan dhuafa, makin dibuat menjerit oleh tiga hal: pertama oleh berbagai kepedihan mengasuh anak-anak tersebut yang memiliki gangguan amat kompleks dan seperti tak berakhir, kedua oleh biaya terapi yang amat mencekik dan ketiga oleh bayangan ketakutan tentang masa depan mereka yang memilukan. Seiring dengan bertambahnya sekolah inklusi di Indonesia, metode-metode terapi yang efektif dan bersahabat dengan para siswa yang biasanya dapat diperoleh dengan mengeluarkan biaya besar pun bisa direkomendasikan ke setiap sekolah inklusi agar semua siswa khususnya penyandang autis dapat merasakannya.Dalam tataran operasional di sekolah, sekalipun sudah banyak sekolah yang mendeklarasikan sebagai sekolah inklusi, tetapi dalam implementasinya masih banyak yang belum sesuai dengan konsep-konsep yang mendasarinya. Bahkan, tidak jarang ditemukan adanya kesalahan-kesalahan praktek, terutama terkait dengan aspek pemahaman, kebijakan internal sekolah, serta kurikulum dan pembelajaran. Hal ini sekaligus menyiratkan bahwa dalam perjalanan menuju pendidikan inklusi (toward inclusive education), Indonesia masih dihadapkan kepada berbagai isu dan permasalahan yang kompleks yang harus mendapatkan perhatian serius dan disikapi oleh berbagai pihak yang terkait, khususnya pemerintah sehingga tidak menghambat hakekat penyelenggaraan pendidikan inklusi itu sendiri (Sunaryo, 2009). Menurut Mayer (2001) seorang anak yang belajar dengan memanfaatkan penglihatan, pendengaran, dan pemahaman akan lebih mudah untuk memahami sesuatu. Berdasarkan teori tersebut, metode yang tepat untuk mengembangkan potensi anak autis di sekolah dasar adalah dengan mengadakan training melalui pemutaran video. Metode ini biasa disebut dengan multimedia education. Salah satu jenis terapi autis yaitu melalui permainan tradisional Pok Ame-Ame. Hal ini dikarenakan permainan ini menitikberatkan pada daya fokus atau konsentrasi bagi anak autis, dimana anak autis itu sendiri tidak mampu membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan penyuluhan kepada seluruh pihak, misal pihak keluarga dan sekolah. Salah satu caranya adalah dengan pembuatan VCD yang berisi tentang teknis aplikasi permainan tradisional Pok Ame-Ame sebagai terapinya, VCD ini berguna berguna bagi para orang tua agar bisa turut serta mendidik anak-anak mereka ketika berada di rumah, dan tidak lepas tanggung jawab bagi orang tua yang anak-anaknya disekolahkan di sekolah anak yang berkebutuhan khusus.


10 comments:

  1. Hello there! Extremely good article! I’m a usual website visitor to your website. Keep up the fantastic work, I read few articles on this internet site and I believe that your weblog is very interesting and contains lots of great information.

    ReplyDelete
  2. It was very useful for me. Keep sharing such ideas in the future as well. This was actually what I was looking for, and I am glad to came here! Thanks for sharing such informative post.

    ReplyDelete
  3. Selam yonetici admin siteniz cok guzel basarilarinizin devamini bekleriz

    ReplyDelete
  4. I certainly agree to some points that you have discussed on this post. I appreciate that you have shared some reliable tips on this review.

    ReplyDelete